Jumat, 26 Maret 2010

SPB Resahkan Pelaut

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Abullah Sani Tanjung (39) memperbaiki jaring sebelum pergi melaut di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara, Kamis (25/3). Para pelaut di Belawan mengeluhkan izin ganda yang harus mereka urus sebelum melaut. Mereka mendesak agar cukup dengan satu surat izin.

Kapal yang Hanya Memiliki Surat Izin Berlayar Ditangkap
Jumat, 26 Maret 2010 | 02:36 WIB


Medan, Kompas - Para pelaut dan pemilik kapal di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara, mengeluhkan kewajiban memiliki surat izin baru pelayaran karena ada dualisme kewenangan. Dualisme tersebut membuat para pelaut dan pemilik kapal di Sumatera Utara bingung.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB) RB Sihombing menjelaskan, pada Januari 2010 sudah ada keputusan bahwa kapal yang hendak melaut cukup mengantongi surat izin berlayar (SIB) dari Kesyahbandaran Perikanan Belawan (KPB). KPB bernaung di bawah Kementerian Perikanan.

Akan tetapi, sejak 11 Februari 2010 muncul kebijakan baru yang mewajibkan kapal yang hendak berlayar harus memiliki surat persetujuan berlayar (SPB). SPB tersebut diterbitkan oleh Kesyahbandaran Kantor Administratur Pelabuhan (Adpel) Utama Belawan yang di bawah naungan Kementerian Perhubungan.

Senin, 22 Maret 2010

SDA: Rumitnya "Pengaplingan" Laut


KOMPAS/ARUM TRESNANINGTYAS
Sumber daya laut mestinya bisa menyejahterakan nelayan. Namun, keruwetan dan tumpang tindih pengelolaan laut menyebabkan konservasi laut diabaikan dan nelayan pun tak kunjung sejahtera, seperti nelayan di Pelabuhan Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, ini, Minggu (21/3).

Senin, 22 Maret 2010 | 04:06 WIB
Sejak Garret Hardin (1968) menerbitkan artikelnya, ”The tragedy of the commons”, masalah penguasaan dan pemilikan menjadi salah satu isu utama dalam wacana pengelolaan sumber daya alam, termasuk laut.

Dalam konteks ini, Hardin mengatakan bahwa sumber daya alam yang tidak menjadi obyek kepemilikan yang juga berarti milik semua orang (the commons) cenderung akan mengalami kehancuran yang diakibatkan oleh eksploitasi yang berlebih. Menurut dia, hal ini karena (1) the commons menciptakan akses terbuka (free for all), dan (2) dalam kondisi akses terbuka, tidak ada insentif untuk konservasi karena tidak ada jaminan jika seseorang berhenti melakukan eksploitasi, orang lain akan melakukan hal yang sama, malah sebaliknya (3) semua orang, secara individu, akan berlomba-lomba untuk mengeksploitasi sumber daya itu sebanyak-banyaknya. Kehancuran adalah akhir dari realitas ini, itulah yang disebutnya sebagai the tragedy of the commons.


Meskipun banyak ahli tidak sependapat sepenuhnya terhadap teori Hardin, argumen bahwa syarat dari pengelolaan sumber daya alam yang baik adalah adanya konsep penguasaan terhadap wilayah, yang jelas batas-batasnya, merupakan argumen yang tidak terbantahkan sampai saat ini.

Kamis, 18 Maret 2010

Mengurai benang kusut dunia kita...

Indonesia merupakan Negara Kepulauan, ini adalah fakta yang tak terbantahkan lagi. Tentunya tak hanya sekedar pulaunya yang indah, akan tetapi Indonesia juga memiliki sumberdaya hayati di dalam laut yang sangat berlimpah. Kekayaan sumberdaya alam yang belum sepenuhnya tergali dan termanfaatkan oleh bangsa kita sendiri.

Beragam cara dan program telah dilakukan oleh pemerintah, terutama sejak dibentuknya satu Departemen khusus yang dipimpin oleh seorang Menteri untuk mengurusi bidang perikanan dan kelautan. Tujuan utamanya salah satunya adalah menambah pendapatan negara dari sektor kelauatan dan perikanan. Entah itu perikanan budidaya ataupun perikanan tangkap. Baik itu pengolahan biota laut ataupun mengembangkan riset tentang dunia kelautan. Akan tetapi, sepertinya belum ada satu langkah pun yang dilakukan pemerintah yang terlihat secara signifikan dapat meningkatkan produksi perikanan dan menaikan taraf hidup para nelayan.

Apa saja penyebabnya?

Rabu, 17 Maret 2010

Budidaya Ikan Belum Berkembang

KOMPAS/EDDY HASBY
Petani ikan di Desa Petaling, Kecamatan Lais, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat ( 1 2/3 ), memberikan pakan ikan ke dalam keramba. Petani di sini membudidayakan ikan patin, toman, dan nila.
JELAJAH MUSI 2010
Rabu, 17 Maret 2010 | 03:41 WIB
Oleh Helena F Nababan dan Jannes Eudes Wawa
Sungai sesungguhnya sangat kaya dengan sumber daya ikan. Ikan-ikan hias berharga mahal, seperti arwana merah dan koi, berasal dari perairan umum. Itu sebabnya, usaha budidaya ikan di sungai dan danau sangat dianjurkan guna meningkatkan pendapatan masyarakat.

Akan tetapi, di Sungai Musi usaha budidaya belum berkembang optimal. Dalam perjalanan tim Jelajah Musi 2010 mulai dari hulu hingga hilir sejauh sekitar 640 kilometer jarang ditemukan usaha budidaya perikanan. Usaha budidaya tersebut banyak ditemukan mulai dari Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin, hingga menjelang Kota Palembang. Namun, kegiatannya selalu berskala kecil dan cuma menjadi usaha sampingan warga setempat.

Budidaya ikan dalam keramba dilakukan pula oleh sejumlah warga Desa Petaling, Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin. Warga membuat keramba di tepian Sungai Batanghari Leko, tidak jauh dari muara. Para peternak ikan itu memanfaatkan kondisi air sungai yang tidak sekeruh Sungai Musi, umumnya dengan beternak ikan patin. Sungai Batanghari Leko adalah salah satu dari delapan anak sungai besar (sub-DAS) Musi.

Rabu, 10 Maret 2010

The Cove

Film adalah film dokumenter buatan Amerika, yang diproduksi tahun 2009. Film ini mengisahkan tentang perburuan dan pembunuhan lumba-lumba setiap tahunnya di Taman Nasional di Taiji, Wakayama, Jepang.

Film ini disutradarai oleh Louie Psihoyos, seorang mantan fotografer National Geographic. Ia menggunakan mikrofon dan kamera high-definition yang disamarkan sebagai batu karang serta dipasang secara diam-diam selama tahun 2007.

Bintang utama film ini adalah Ric O’Barry, seorang mantan angkatan laut yang kemudian bekerja melatih lumba-lumba yang digunakan untuk serial TV Flipper. Ia bertemu pertama kali dengan Psihoyos di sebuah acara konferensi kelautan, dimana O’Barry diagendakan menjadi seorang pembicara utama.

Sertifikasi Tak Naikkan Harga

Rabu, 10 Maret 2010 | 03:46 WIB

Jakarta, KOMPAS - Pelaku budidaya udang wajib penuhi standardisasi internasional. Kewajiban itu semakin kuat seiring keputusan Aquaculture Stewardship Council membentuk lembaga sertifikasi udang tahun 2011.

Aquaculture Stewardship Council (ASC) di Jakarta, 9-11 Maret, menyusun finalisasi standardisasi budidaya dengan melibatkan negara produsen, pelaku bisnis, dan ilmuwan.

Fisheries Program Leader Word Wild Fund Indonesia Imam Musthofa menjelaskan, prinsip standardisasi antara lain budidaya ramah lingkungan, perlindungan pekerja, pengelolaan kesehatan udang, pengelolaan stok indukan, dan penyakit.

Menurut Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu PT Aruna Wijaya Sakti Nafian Faiz, sertifikasi udang tak memberikan imbal balik pada peningkatan kesejahteraan petambak. Harga udang petambak tetap rendah meski memenuhi persyaratan.

Direktur Perbenihan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Ketut Sugama mengakui, standardisasi yang digulirkan ASC sulit diterapkan sepenuhnya di Indonesia. Ini karena petambak udang nasional didominasi oleh petambak rakyat dengan lahan sempit dan teknologi sederhana.

”Pemerintah berupaya meminta kelonggaran waktu pelaksanaan sertifikasi bagi petambak kecil,” ujar Ketut.

Ketua Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto mengingatkan pemerintah untuk melindungi petambak kecil agar tidak terlibas persaingan pasar. Indonesia telah menerapkan standardisasi dan sertifikasi budidaya udang yang mengacu standar internasional. Namun, sertifikasi itu belum mendunia. (ROW/LKT)

sumber: KOMPAS

Senin, 08 Maret 2010

DEEP INDONESIA 2010


Kerjasama yang kedua kalinya antara EXTREME dan DEEP Indonesia 2010 akan dilaksanakan pada Maret, 12 - 14, 2010 di Hall B, Jakarta Convention Center. EXTREME dan DEEP Indonesia akan terus tumbuh berkembang menjadi pameran gabungan yang sukses di Indonesia, ni didasarkan pada wilayah yang besar dan pasar yang terus berkembang untuk kegiatan menyelam, olahraga air, olahraga ekstrim, eko wisata dan industri biro perjalanan petualangan.

Jumat, 05 Maret 2010

Pesawat Cardig Air Ekspor Ikan Tuna

Jumat, 5 Maret 2010 | 04:04 WIB

Padang, Kompas - Potensi ekspor tuna segar melalui sarana kargo di Padang, Sumatera Barat, tergolong besar. Sejak April 2009, pesawat kargo Cardig Air telah mengekspor tuna segar ke Jepang hingga 408.000 kilogram.

CEO PT Cardig Air Boyke Soebroto di Padang, Rabu (3/3), mengemukakan, potensi ekspor tuna dari Padang terhitung potensial karena waktu tempuh dari pabrik pengolahan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus ke Bandar Udara Minangkabau hanya satu jam.

”Sarana infrastruktur transportasi di Padang tergolong memadai. Ini mendorong ekspor langsung tuna segar ke negara tujuan,” ujarnya.

Kamis, 04 Maret 2010

Udang Jerbung

Udang yang satu ini namanya memang tidak terlalu familiar terdengar oleh telinga kita. Udang ini merupakan salah satu spesies dari famili Penaeidae. Udang Jerbung (Penaeus Merguiensis) merupakan kekayaan alam hayati yang tersebar luas hampir di seluruh Indonesia. Udang jerbung atau udang putih bahkan sangat terkenal di mancanegara dengan nama lokal masing - masing, seperti: Australia (Banana Prawn/White Prawn), Jepang (Tenjikuebi/Banana Ebi), Malaysia (Udang kaki merah/Udang pasir), Pakistan (Jaira), Philippines (Hipon buti), Thailand (Kung chaebauy).

Rabu, 03 Maret 2010

Terumbu Karang di Babel Hancur

Rabu, 3 Maret 2010 | 02:38 WIB

Pangkal pinang, Kompas - Aktivitas penambangan timah di daerah pantai dan laut yang semakin tinggi telah memperparah kerusakan terumbu karang dan mengurangkan sumber daya ikan di perairan Bangka Belitung. Saat ini 45 kapal pengisap dan kapal keruk yang beroperasi di perairan itu bekerja sama dengan PT Timah Tbk.

Hal itu dikatakan Koordinator Wahana Lingkungan Hidup Bangka Belitung Yudho H Marhoed di Pangkal Pinang, Selasa (2/3). ”Kapal isap dalam dua tahun belakangan terus bertambah. Akibatnya, hasil tangkapan 16.920 nelayan tradisional Babel yang menggunakan 7.846 kapal motor semakin menurun karena kerusakan terumbu karang dan pencemaran air laut bertambah parah,” katanya.

Ke-45 kapal isap dan kapal keruk beroperasi di perairan Kabupaten Bangka, Bangka Selatan, dan Bangka Barat. Sekitar 26 kapal isap milik swasta, yang bermitra dengan PT Timah Tbk, direncanakan akan ditambah lagi 14 kapal isap dan 5 kapal keruk di perairan itu.

Selasa, 02 Maret 2010

Bertemu Napoleon di Bawah Laut Ambon

KOMPAS/A PONCO ANGGORO
Kapal cepat bersiap-siap mengangkut sejumlah penyelam ke lokasi penyelaman di perairan sekitar Ambon, Maluku, Jumat (26/2). Kapal bersandar di Pantai Santai di Kecamatan Nusaniwe, Ambon. Tak hanya pantai-pantainya yang indah di Ambon, biota bawah laut perairan di sekitar kota itu pun menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal dan asing.

Selasa, 2 Maret 2010 | 04:01 WIB

oleh: A Ponco Anggoro

"Ambon Manise”. Ungkapan itu tidak hanya mencerminkan keindahan Maluku di daratan, tetapi juga di lautan. Keindahan, keragaman, dan kesuburan biota lautnya sungguh menakjubkan.

Bukan suatu yang mengherankan jika semakin banyak orang yang hobi menyelam di Ambon.

Ini merupakan kali kedua Nahoya Mitsui, ekspatriat di Jakarta asal Jepang, datang ke Ambon. Kenangan indah akan kunjungannya yang pertama, November 2009, mendorong dia datang kembali ke Ambon akhir Februari lalu.

Kenangan indah itu sama sekali bukan terkait fasilitas hotel bintang yang serba wah, melainkan lebih karena biota laut di bawah permukaan laut di perairan sekitar Ambon.

Senin, 01 Maret 2010

Nelayan dan Lautnya

KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT
Dua dari lima kapal ikan Malaysia yang ditangkap petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan di 30 mil laut, utara Belawan, Medan, Senin (18/1).

Senin, 1 Maret 2010 | 05:23 WIB

oleh: Andy Riza Hidayat

Tapal batas laut selalu menyulitkan nelayan Sumatera Utara selama puluhan tahun. Aparat keamanan negara tetangga bertindak tanpa kompromi. Mereka menghalau nelayan yang diduga masuk wilayahnya. Kadang hal itu dilakukan dengan menggunakan peluru tajam.

Padahal, nelayan yakin mereka masih berada di wilayah laut Indonesia. Sayangnya, argumentasi nelayan lemah lantaran tidak memiliki pengetahuan tapal batas yang cukup. Apalagi mereka tidak mempunyai sarana untuk mengidentifikasi wilayah dengan akurat.