Selasa, 23 Februari 2010

Nelayan Tradisional Kian Tersisih

Senin, 22 Februari 2010 | 03:35 WIB

AMBON, KOMPAS - Nelayan tradisional di Ambon, Maluku, yang menggunakan alat tangkap ikan huhate, semacam alat pancing, kian tersisih. Mereka kalah bersaing dengan nelayan yang menggunakan jaring.

Peter (41), salah seorang nelayan tradisional di Galala, Ambon, Minggu (21/2), mengatakan, nelayan dengan alat tangkap jaring kebanyakan nelayan asing yang berasal dari Filipina. Mereka kerap beroperasi di perairan tempat nelayan tradisional Ambon biasa mencari ikan, misalnya di perairan Seram, Buru, Bitung, dan Banda.

Dengan menggunakan jaring, mereka dapat menangkap ikan tiga sampai empat kali lipat lebih banyak daripada yang bisa ditangkap nelayan tradisional. Dampaknya, nelayan tradisional hanya mendapat sisanya yang jumlahnya tergolong sedikit.

”Sekali melaut (dua hari sampai lima hari), nelayan Ambon hanya bisa menangkap ikan cakalang, sejenis ikan tongkol, 500 kilogram sampai 2 ton. Jumlah itu jauh di bawah hasil tangkapan sebelum tahun 1980, yang minimal 2 ton sekali melaut,” papar Peter.

Yonas (43), nelayan yang memiliki enam perahu di Galala, mengungkapkan, tidak hanya nelayan asing yang membuat nelayan lokal terancam. Sejumlah perusahaan nasional yang mengoperasikan perahu dengan alat tangkap jaring untuk menangkap ikan di perairan Maluku juga mengundang resah.

Perusahaan seperti itu, lanjut Yonas, tidak sedikit yang menyewa orang Filipina yang terbiasa menangkap ikan dengan jaring. ”Di sisi lain, nelayan tradisional Ambon enggan menggunakan alat tangkap jaring karena tidak terbiasa,” katanya.

Tak dioperasikan

Kondisi yang demikian, kata Peter, Yonas, dan beberapa nelayan tradisional Galala lainnya, menyebabkan mereka memilih tidak mengoperasikan perahunya. Hal itu disebabkan biaya operasi yang dikeluarkan nelayan tidak sebanding dengan hasil tangkapan.

Sekretaris Jenderal Lembaga Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik mendesak pemerintah menerbitkan regulasi guna melindungi perairan yang menjadi wilayah tangkap nelayan tradisional. Negara lain yang bertumpu pada perikanan, seperti Jepang, katanya, sangat melindungi nelayan dengan regulasi.

Regulasi seperti itu dinilai perlu, terutama jika pemerintah ingin tetap menjadikan Maluku sebagai lumbung perikanan. ”Apalagi jika ingin Indonesia menjadi produsen ikan terbesar di dunia tahun 2012. Saat ini, Indonesia menduduki posisi keempat. Posisi pertama ditempati oleh China, lalu Peru, dan terakhir Amerika Serikat,” kata Riza.

Target sebagai produsen ikan terbesar tidak akan tercapai jika pencurian ikan dan penangkapan ikan secara besar-besaran tanpa memerhatikan keberlanjutan produksi ikan, seperti sekarang ini, terus terjadi. ”Yang terjadi pada akhirnya nelayan tradisional kian terpuruk,” ujar Riza.

Tak sependapat

Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual, Maluku, Joko Supraptomo tidak sependapat jika dikatakan tangkap jaring tidak memperhatikan keberlanjutan produksi ikan. ”Hal itu tinggal tergantung dari ukuran mata jaringnya. Ukuran ini pun ada aturannya sehingga jaring tidak menangkap ikan kecil,” ujarnya.

Joko berpendapat, nelayan tradisional bukan tidak bisa beralih ke alat tangkap jaring. ”Mereka lebih memilih huhate karena sudah turun-temurun menggunakannya sehingga sulit beralih ke jaring,” katanya. (APA)

sumber: KOMPAS



Posting Terkait