KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Nelayan merapikan jaring mereka sebelum berangkat mencari ikan di Pelabuhan Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke, Jakarta Utara. Hari Nelayan Indonesia yang diperingati tanggal 6 April seperti menguak riwayat "urat nadi" negeri bahari ini. Belenggu kemiskinan dan keterbelakangan masih sulit beranjak dari kehidupan nelayan.
Selasa, 6 April 2010 | 04:06 WIB
Hari Nelayan Indonesia yang diperingati hari ini, 6 April, bagai menguak riwayat ”urat nadi” negeri bahari ini. Belenggu kemiskinan dan keterbelakangan hingga kini belum beranjak dari kehidupan nelayan. Ketidakpastian penghidupan membuat sebagian nelayan kecil beralih profesi ke sektor informal.
Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), tahun 2003-2008, sekitar 1,2 juta nelayan tangkap sudah meninggalkan laut. Sebagian dari mereka beralih profesi ke sektor informal di luar perikanan tangkap, misalnya menjadi buruh bangunan, buruh pabrik, atau tukang ojek.
Keterbatasan bahan bakar minyak, jeratan utang ke tengkulak, permainan harga jual ikan, dan terbatasnya daya serap industri pengolahan ikan menjadi persoalan klasik yang mendera nelayan hingga hari ini.
Kasus penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia oleh nelayan asing, penangkapan ikan dengan alat tangkap yang merusak lingkungan, dan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan adalah lingkaran setan yang menggerogoti daya saing nelayan kecil dan tradisional.
Di sisi lain, ratusan nelayan asal Indonesia ditangkap oleh otoritas keamanan Australia karena dianggap memasuki perairan Australia.
Saat ini, jumlah nelayan Indonesia berkisar 2,7 juta jiwa, 80 persen di antaranya nelayan skala kecil dan tradisional dengan kapasitas kapal di bawah 30 gross ton (GT).
Pemerintah menggagas upaya pengendalian penangkapan ikan dan mengurangi kepadatan penangkapan di sejumlah wilayah pengelolaan perikanan dengan mendorong penangkapan ke laut lepas. Caranya, melalui restrukturisasi dan modernisasi armada kapal kecil agar nelayan bisa menjelajah lebih dari 12 mil sampai ke laut lepas.
Anggaran merestrukturisasi kapal tahun 2011 diusulkan Rp 1,5 triliun, guna mengganti 1.000 perahu tanpa motor milik nelayan kecil menjadi kapal motor berbobot lebih dari 30 GT beserta alat tangkap ikan.
Upaya lain, menekan penangkapan berlebih dengan menggeser fokus peningkatan produksi dari perikanan tangkap ke perikanan budidaya.
Dalam periode 2009-2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan target ambisius menaikkan produksi perikanan 353 persen dengan program andalan, minapolitan.
Tahun 2010, pemerintah menargetkan pembentukan 28 kawasan minapolitan dengan titik berat komoditas unggulan perikanan budidaya, seperti rumput laut, patin, lele, udang, nila, dan kerapu.
Program minapolitan dirancang sebagai sinergi Kementerian Kelautan dan Perikanan dan kementerian teknis lain, seperti Kementerian Pekerjaan Umum untuk penyediaan infrastruktur, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk pasokan bahan bakar minyak.
Adapun minapolitan mengarah pada kawasan perikanan terintegrasi, yang terdiri dari fasilitas pemasaran, perdagangan, serta sarana dan prasarana pendukung usaha. Dalam satu wilayah kabupaten/kota dimungkinkan terdapat beberapa sentra produksi unggulan.
Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana menilai, program peningkatan produksi budidaya justru kontraproduktif dengan upaya pengendalian perikanan tangkap sebab 60 persen komponen pakan ikan bersumber dari ikan laut.
Jika dibanding program agropolitan yang sudah dikembangkan Kementerian Pertanian pada 2002, inti minapolitan tak jauh berbeda, yakni kawasan pengembangan ekonomi berbasis komoditas unggulan.
Pada periode pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan mencanangkan peningkatan produksi ikan tahun 2003 menjadi 9 juta ton dengan target nilai ekspor 10 miliar dollar AS.
Namun, data Organisasi Pangan Dunia (FAO) menunjukkan, produksi ikan nasional tahun 2003 hanya 5,8 juta ton dengan nilai ekspor kurang dari 1,7 miliar dollar AS.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dicanangkan program Gerbang Mina Bahari, yang targetnya sama. Produksi ikan nasional ditargetkan 9,5 juta ton pada 2006 dan nilai devisa 10 miliar dollar AS. FAO merilis, realisasi produksi ikan tahun 2006 hanya 6,2 juta ton senilai 2 miliar dollar AS.
Pada periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah kembali mencanangkan program serupa dengan nama revitalisasi kelautan dan perikanan dengan target produksi tahun 2009 adalah 9,7 juta ton dan nilai ekspor 5 miliar dollar AS.
Sekjen Kiara Riza Damanik mengingatkan, program restrukturisasi kapal nelayan kecil dikhawatirkan akan sia-sia sebab tidak mudah mengubah karakter nelayan kecil yang terbiasa menangkap di perairan sejauh maksimum 4 mil ke laut lepas.
Selain itu, restrukturisasi ke kapal berbobot besar membutuhkan tambahan modal bahan bakar yang belum tentu bisa dipenuhi nelayan.
”Lompatan kebiasaan menangkap ikan memiliki risiko kegagalan yang tinggi,” ujar Riza.
Apalagi nilai jual ikan masih rendah karena sebagian besar dipasarkan dalam bentuk utuh. Utilitas pabrik pengolahan hanya 70 persen membuat produk ikan sulit memiliki nilai tambah.
Sebagai ilustrasi, nilai ekspor perikanan Indonesia sekitar 2,3 miliar dollar AS. Pada tahun yang sama, nilai ekspor perikanan Vietnam dengan suplai ikan yang jauh lebih sedikit sebesar 3,4 miliar dollar AS, karena didukung 335 industri pengolahan dengan kapasitas optimal.
Upaya nyata menolong nelayan dari jerat kemiskinan adalah membenahi sektor tangkap dari hulu ke hilir. Upaya itu mulai dari perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional agar tidak disusupi nelayan besar yang mengeruk ikan di wilayah tangkapan nelayan kecil. ”Harus ada jaminan hak nelayan untuk mengakses wilayah tangkapan dan perlindungan terhadap perairannya,” ujar Riza.
Selain itu, dibutuhkan pembenahan pendataan hasil tangkapan ikan. Ini agar ikan tidak diselundupkan dan ada jaminan pasokan bahan baku ke industri pengolahan.
Di sisi lain, pemerintah perlu mendorong pertumbuhan industri pengolahan di sentra-sentra produksi. Usaha pengolahan tidak hanya di skala kecil menengah berupa ikan bakar dan asap, melainkan juga skala industri besar dengan produk olahan yang lebih bervariasi.
Kebijakan penghapusan retribusi perikanan yang memberatkan nelayan harus diwujudkan. Jangan sampai kebijakan itu hanya menjadi wacana di tingkat pemerintah pusat, tetapi minim implementasi di tingkat daerah.
Segala keberpihakan itu dibutuhkan jika pemerintah serius menolong nelayan terbebas dari jerat ketertinggalan. (Brigita Maria Lukita)
sumber: KOMPAS
Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), tahun 2003-2008, sekitar 1,2 juta nelayan tangkap sudah meninggalkan laut. Sebagian dari mereka beralih profesi ke sektor informal di luar perikanan tangkap, misalnya menjadi buruh bangunan, buruh pabrik, atau tukang ojek.
Keterbatasan bahan bakar minyak, jeratan utang ke tengkulak, permainan harga jual ikan, dan terbatasnya daya serap industri pengolahan ikan menjadi persoalan klasik yang mendera nelayan hingga hari ini.
Kasus penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia oleh nelayan asing, penangkapan ikan dengan alat tangkap yang merusak lingkungan, dan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan adalah lingkaran setan yang menggerogoti daya saing nelayan kecil dan tradisional.
Di sisi lain, ratusan nelayan asal Indonesia ditangkap oleh otoritas keamanan Australia karena dianggap memasuki perairan Australia.
Saat ini, jumlah nelayan Indonesia berkisar 2,7 juta jiwa, 80 persen di antaranya nelayan skala kecil dan tradisional dengan kapasitas kapal di bawah 30 gross ton (GT).
Pemerintah menggagas upaya pengendalian penangkapan ikan dan mengurangi kepadatan penangkapan di sejumlah wilayah pengelolaan perikanan dengan mendorong penangkapan ke laut lepas. Caranya, melalui restrukturisasi dan modernisasi armada kapal kecil agar nelayan bisa menjelajah lebih dari 12 mil sampai ke laut lepas.
Anggaran merestrukturisasi kapal tahun 2011 diusulkan Rp 1,5 triliun, guna mengganti 1.000 perahu tanpa motor milik nelayan kecil menjadi kapal motor berbobot lebih dari 30 GT beserta alat tangkap ikan.
Upaya lain, menekan penangkapan berlebih dengan menggeser fokus peningkatan produksi dari perikanan tangkap ke perikanan budidaya.
Dalam periode 2009-2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan target ambisius menaikkan produksi perikanan 353 persen dengan program andalan, minapolitan.
Tahun 2010, pemerintah menargetkan pembentukan 28 kawasan minapolitan dengan titik berat komoditas unggulan perikanan budidaya, seperti rumput laut, patin, lele, udang, nila, dan kerapu.
Program minapolitan dirancang sebagai sinergi Kementerian Kelautan dan Perikanan dan kementerian teknis lain, seperti Kementerian Pekerjaan Umum untuk penyediaan infrastruktur, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk pasokan bahan bakar minyak.
Adapun minapolitan mengarah pada kawasan perikanan terintegrasi, yang terdiri dari fasilitas pemasaran, perdagangan, serta sarana dan prasarana pendukung usaha. Dalam satu wilayah kabupaten/kota dimungkinkan terdapat beberapa sentra produksi unggulan.
Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana menilai, program peningkatan produksi budidaya justru kontraproduktif dengan upaya pengendalian perikanan tangkap sebab 60 persen komponen pakan ikan bersumber dari ikan laut.
Jika dibanding program agropolitan yang sudah dikembangkan Kementerian Pertanian pada 2002, inti minapolitan tak jauh berbeda, yakni kawasan pengembangan ekonomi berbasis komoditas unggulan.
Pada periode pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan mencanangkan peningkatan produksi ikan tahun 2003 menjadi 9 juta ton dengan target nilai ekspor 10 miliar dollar AS.
Namun, data Organisasi Pangan Dunia (FAO) menunjukkan, produksi ikan nasional tahun 2003 hanya 5,8 juta ton dengan nilai ekspor kurang dari 1,7 miliar dollar AS.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dicanangkan program Gerbang Mina Bahari, yang targetnya sama. Produksi ikan nasional ditargetkan 9,5 juta ton pada 2006 dan nilai devisa 10 miliar dollar AS. FAO merilis, realisasi produksi ikan tahun 2006 hanya 6,2 juta ton senilai 2 miliar dollar AS.
Pada periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah kembali mencanangkan program serupa dengan nama revitalisasi kelautan dan perikanan dengan target produksi tahun 2009 adalah 9,7 juta ton dan nilai ekspor 5 miliar dollar AS.
Sekjen Kiara Riza Damanik mengingatkan, program restrukturisasi kapal nelayan kecil dikhawatirkan akan sia-sia sebab tidak mudah mengubah karakter nelayan kecil yang terbiasa menangkap di perairan sejauh maksimum 4 mil ke laut lepas.
Selain itu, restrukturisasi ke kapal berbobot besar membutuhkan tambahan modal bahan bakar yang belum tentu bisa dipenuhi nelayan.
”Lompatan kebiasaan menangkap ikan memiliki risiko kegagalan yang tinggi,” ujar Riza.
Apalagi nilai jual ikan masih rendah karena sebagian besar dipasarkan dalam bentuk utuh. Utilitas pabrik pengolahan hanya 70 persen membuat produk ikan sulit memiliki nilai tambah.
Sebagai ilustrasi, nilai ekspor perikanan Indonesia sekitar 2,3 miliar dollar AS. Pada tahun yang sama, nilai ekspor perikanan Vietnam dengan suplai ikan yang jauh lebih sedikit sebesar 3,4 miliar dollar AS, karena didukung 335 industri pengolahan dengan kapasitas optimal.
Upaya nyata menolong nelayan dari jerat kemiskinan adalah membenahi sektor tangkap dari hulu ke hilir. Upaya itu mulai dari perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional agar tidak disusupi nelayan besar yang mengeruk ikan di wilayah tangkapan nelayan kecil. ”Harus ada jaminan hak nelayan untuk mengakses wilayah tangkapan dan perlindungan terhadap perairannya,” ujar Riza.
Selain itu, dibutuhkan pembenahan pendataan hasil tangkapan ikan. Ini agar ikan tidak diselundupkan dan ada jaminan pasokan bahan baku ke industri pengolahan.
Di sisi lain, pemerintah perlu mendorong pertumbuhan industri pengolahan di sentra-sentra produksi. Usaha pengolahan tidak hanya di skala kecil menengah berupa ikan bakar dan asap, melainkan juga skala industri besar dengan produk olahan yang lebih bervariasi.
Kebijakan penghapusan retribusi perikanan yang memberatkan nelayan harus diwujudkan. Jangan sampai kebijakan itu hanya menjadi wacana di tingkat pemerintah pusat, tetapi minim implementasi di tingkat daerah.
Segala keberpihakan itu dibutuhkan jika pemerintah serius menolong nelayan terbebas dari jerat ketertinggalan.
Get Social Share!