KOMPAS/ALBERTUS HENDRIYO WIDI
Ratusan nelayan Kabupaten Pati, Jawa Tengah, berunjuk rasa di depan Kantor Bupati dan DPRD Pati, Senin (12/4). Mereka menuntut revisi Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan karena merugikan nelayan.
Undang-Undang Perikanan Sepatutnya Segera Direvisi
Selasa, 13 April 2010 | 04:28 WIB
Saat berunjuk rasa, nelayan memblokir jalur pantai utara (pantura)—di ruas Jalan Gajah Mada, Kota Tegal—sekitar lima menit. Aksi itu membuat arus lalu lintas tersendat. Nelayan mengaku kecewa karena hingga pukul 11.30 WIB belum juga ditemui oleh satu pun anggota DPRD.
Arus lalu lintas kembali normal setelah polisi berhasil membujuk pengunjuk rasa kembali masuk ke halaman Gedung DPRD.
Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal Eko Susanto mengatakan, nelayan meminta agar pemerintah membuka kembali izin kapal cantrang di bawah 30 gross ton. Saat ini sekitar 600 kapal, dengan 6.000 nelayan di Tegal, beroperasi dengan kapal jenis itu.
”Karena pemerintah tidak lagi mengeluarkan izin untuk kapal cantrang, sebagian nelayan terpaksa berlayar dengan izin berbeda. Akibatnya, mereka sering ditangkap saat ada razia,” kata Eko.
Di Pati
Tak hanya di Tegal unjuk rasa nelayan berlangsung. Di Pati pun ratusan nelayan yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) melakukan hal serupa di depan Kantor Bupati dan DPRD Pati dengan tuntutan yang sama.
Mereka berpendapat, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan menjadi sumber permasalahan perizinan ini. Karena itu, undang-undang tersebut perlu direvisi mengingat telah merugikan nelayan, di samping penerapannya kerap disalahgunakan aparat penegak hukum.
Koordinator unjuk rasa, Bambang Wicaksono, mengatakan, Undang-Undang Perikanan sangat memberatkan nelayan, terutama nelayan golongan menengah ke bawah. Dalam undang-undang itu disebutkan, sebuah kapal tangkap ikan harus mempunyai 27 dokumen, baik dokumen yang sifatnya tetap atau tahunan maupun yang harus dibuat setiap kali akan melaut.
Pengurusan dokumen tersebut membutuhkan waktu sehingga tidak efisien. Untuk mempercepat dan mempermudah pengurusan, kerap kali nelayan ditarik dana tambahan Rp 50.000-Rp 100.000 per dokumen. ”Kalau dokumen tersebut tidak lengkap, sejumlah penegak hukum di laut sering menarik (meminta) uang kepada nelayan,” ujar Bambang.
Tambari, tokoh nelayan Tegal, sependapat dengan Bambang. Menurut dia, selama ini nelayan terbebani dengan berbagai jenis pungutan. Pungutan hasil perikanan, misalnya, besarnya bervariasi, Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per tahun. ”Pemerintah mestinya menghapus pungutan-pungutan itu,” katanya.
Menanggapi tuntutan nelayan Pati, Ketua DPRD Pati Sunarwi menyatakan, pihaknya siap mendampingi nelayan untuk mengajukan revisi undang-undang ke DPR serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
sumber: KOMPAS
Get Social Share!