Rabu, 17 Maret 2010

Budidaya Ikan Belum Berkembang

KOMPAS/EDDY HASBY
Petani ikan di Desa Petaling, Kecamatan Lais, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat ( 1 2/3 ), memberikan pakan ikan ke dalam keramba. Petani di sini membudidayakan ikan patin, toman, dan nila.
JELAJAH MUSI 2010
Rabu, 17 Maret 2010 | 03:41 WIB
Oleh Helena F Nababan dan Jannes Eudes Wawa
Sungai sesungguhnya sangat kaya dengan sumber daya ikan. Ikan-ikan hias berharga mahal, seperti arwana merah dan koi, berasal dari perairan umum. Itu sebabnya, usaha budidaya ikan di sungai dan danau sangat dianjurkan guna meningkatkan pendapatan masyarakat.

Akan tetapi, di Sungai Musi usaha budidaya belum berkembang optimal. Dalam perjalanan tim Jelajah Musi 2010 mulai dari hulu hingga hilir sejauh sekitar 640 kilometer jarang ditemukan usaha budidaya perikanan. Usaha budidaya tersebut banyak ditemukan mulai dari Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin, hingga menjelang Kota Palembang. Namun, kegiatannya selalu berskala kecil dan cuma menjadi usaha sampingan warga setempat.

Budidaya ikan dalam keramba dilakukan pula oleh sejumlah warga Desa Petaling, Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin. Warga membuat keramba di tepian Sungai Batanghari Leko, tidak jauh dari muara. Para peternak ikan itu memanfaatkan kondisi air sungai yang tidak sekeruh Sungai Musi, umumnya dengan beternak ikan patin. Sungai Batanghari Leko adalah salah satu dari delapan anak sungai besar (sub-DAS) Musi.

Zainal Aripin (37), warga Desa Tebing Abang, Kecamatan Rantau Bayur, misalnya, sedang membudidayakan ikan betutu dalam satu keramba berukuran 3 meter x 1,5 meter dengan kedalaman 2 meter. Dalam keramba itu ditebarkan 1.000 ekor ikan betutu.

Setelah dibudidayakan selama delapan bulan sampai setahun, ikan tersebut pun dipanen. Penyusutan akibat kematian rata-rata 10 persen atau ikan yang hidup dan layak dijual sebanyak 900 ekor.

Saat panen, berat ikan betutu rata-rata 8 ons. Berarti total ikan yang dipanen Zainal sebanyak 1.125 kilogram. Ikan ini biasanya langsung dibeli pedagang dari Palembang di tempat budidaya seharga Rp 110.000 per kg. Dengan demikian, total pendapatan yang diperoleh Zainal dari satu keramba tersebut sekitar Rp 123,750 juta. ”Pendapatan yang saya dapatkan memang lumayan banyak, tetapi saya tak berani membudidayakan dalam skala besar, termasuk menjadikan sebagai kegiatan pokok. Saya belum berani menghadapi risiko,” kata Zainal.

Dia mengaku, beberapa tahun lalu pernah membudidayakan ikan betutu dalam 10 keramba. Apalagi, bibit ikan tersebut mudah didapatkan, yakni ditangkap pada April-Juni saat musim kemarau. Ketika itu, air Sungai Musi surut sehingga ikan betutu cenderung masuk ke alur anak-anak sungai yang kecil dan rawa.

”Di situlah ikan tersebut ditangkap hidup oleh masyarakat setempat, lalu dijual kepada pembudidaya seharga Rp 30.000 per kg. Satu kilogram berisi lima ekor ikan betutu,” ujar Zainal.
Akan tetapi, keinginannya untuk mendapat penghasilan besar dari usaha budidaya ikan betutu di 10 keramba akhirnya gagal total. Mayoritas ikan-ikan tersebut mendadak mati karena terserang penyakit. ”Sejak kasus itu, saya langsung memutuskan membudidayakan hanya di satu keramba biar lebih aman,” kata Zainal.

Belum berkesinambungan

Lain dengan Zainal, Agus Salim (42), warga Desa Rantau Harapan II, Kecamatan Rantau Bayur, malah berani membudidayakan ikan jelawat di 10 keramba. Setiap keramba ukuran 3 meter x 2 meter dengan kedalaman 1,5 meter itu diisi 1.000-2.000 ekor. Tingkat kematian dari ikan jelawat dalam keramba rata-rata juga 10 persen.

Ikan jelawat tersebut dipelihara selama setahun. Setiap ekor memiliki berat 1 kilogram. Saat dipanen ikan dijual Rp 45.000 per kg. Panen ikan dari 10 keramba dilakukan serentak sehingga pendapatan yang diperoleh Agus Salim sekitar Rp 450 juta. ”Saya tidak repot mencari pasar. Rumah makan dan pedagang datang sendiri ke tempat budidaya,” ujar Agus.

Namun, kelemahan Agus Salim adalah belum bisa mengatur usaha budidaya yang berkesinambungan. Jika dari 10 keramba itu dilakukan penebaran benih secara bertahap dalam setiap dua bulan untuk dua keramba, pemanenan pun dapat dilakukan sebanyak lima kali per tahun. Artinya, dalam sekali panen diperoleh pendapatan sekitar Rp 90 juta. ”Memang, kalau dilakukan pengaturan pola penaburan benih ikan jelawat, saya bisa panen dua unit keramba setiap kali. Namun, saya belum pernah mencoba melakukannya,” ujar Agus Salim.

Pasar tanpa batas

Membudidayakan ikan dalam keramba jaring apung juga menjadi pilihan Hendry (31). Warga Palembang itu membudidayakan ikan nila, ikan patin, dan ikan baung di 32 keramba di daerah Gandus, Kota Palembang. Setiap keramba ukuran 4 meter x 4 meter itu ditebarkan benih rata-rata 2.000 ekor.

Awalnya dia mengira membudidayakan dalam keramba akan membuat ikan mati. Namun, faktanya bertolak belakang. Sungai Musi yang berarus menghasilkan oksigen sehingga ikan bisa hidup dan membesar dalam keramba. Namun, tingkat kematian ikan di wilayah Gandus sekitar 30 persen karena di wilayah itu banyak penambangan pasir yang mematikan ikan. Ada pula perilaku operator perahu yang seenaknya membuang oli di sungai.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumsel Sri Dewi Titisari mengakui, usaha budidaya ikan di Sungai Musi belum berkembang optimal karena baru 10-15 persen wilayah Musi yang dimanfaatkan. Produksi ikan patin dari Musi mencapai 47.264,5 ton per tahun dan ikan nila 48.991,1 ton per tahun. ”Kendala serius yang kami hadapi adalah ketiadaan petugas penyuluh lapangan,” ujar Sri Dewi. (mzw/oni/mul)
sumber: KOMPAS

Posting Terkait