KOMPAS/ARUM TRESNANINGTYAS
Sumber daya laut mestinya bisa menyejahterakan nelayan. Namun, keruwetan dan tumpang tindih pengelolaan laut menyebabkan konservasi laut diabaikan dan nelayan pun tak kunjung sejahtera, seperti nelayan di Pelabuhan Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, ini, Minggu (21/3).
Senin, 22 Maret 2010 | 04:06 WIB
Sejak Garret Hardin (1968) menerbitkan artikelnya, ”The tragedy of the commons”, masalah penguasaan dan pemilikan menjadi salah satu isu utama dalam wacana pengelolaan sumber daya alam, termasuk laut.Dalam konteks ini, Hardin mengatakan bahwa sumber daya alam yang tidak menjadi obyek kepemilikan yang juga berarti milik semua orang (the commons
Meskipun banyak ahli tidak sependapat sepenuhnya terhadap teori Hardin, argumen bahwa syarat dari pengelolaan sumber daya alam yang baik adalah adanya konsep penguasaan terhadap wilayah, yang jelas batas-batasnya, merupakan argumen yang tidak terbantahkan sampai saat ini.
Tumpang tindih
Menengok kebijakan perikanan laut di Indonesia, masalah pengaplingan laut mulai menjadi salah satu isu sentral sejak tumbangnya Orde Baru. Sayangnya, kebijakan ini tidak didasari oleh pemahaman yang terintegrasi dan komprehensif sehingga ia lebih merupakan ”benang kusut” daripada sebagai fondasi untuk mengembangkan praktik pengelolaan yang lebih baik.
Rujukan aturan utama yang sangat jelas menjadi dasar pengaplingan laut tentu saja Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 yang sudah di revisi menjadi UU No 32/2004. Pada intinya, UU ini mengapling laut menjadi banyak bagian. Pertama, laut dibagi menjadi tiga kapling besar: (1) dari garis pantai sampai 1/3 dari maksimum 12 mil; (2) dari batas luar kapling pertama sampai 12 mil; dan (3) dari batas 12 mil sampai batas luar zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Kedua, karena kapling pertama diserahkan hak pengelolaannya kepada pemerintah kabupaten/kota pesisir, hal itu berarti kapling itu dipenggal-pengal lagi sesuai dengan jumlah kabupaten/kota yang ada di pesisir.
Kita mulai melihat kekusutannya jika menyandingkan aturan dalam UU di atas dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 392/1999 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan. SK ini membagi laut menjadi tiga bagian: Jalur I (0-6 mil), Jalur II (6-12 mil) dan Jalur III (di atas 12 mil). Dalam SK ini diatur bahwa Jalur I adalah wilayah operasi eksklusif untuk perahu ukuran di bawah 5 gross ton (GT), Jalur II untuk operasi
Masalah semakin ruwet jika kita menambahkan kebijakan tentang Usaha Perikanan (PP No 54/2002). PP ini memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan izin kepada usaha perikanan yang beroperasi dengan perahu/kapal sampai dengan 10 GT dan kewenangan kepada pemerintah provinsi untuk menerbitkan izin perikanan bagi yang menggunakan kapal dari di atas 10 sampai 30 GT. Usaha perikanan dengan bobot kapal di bawah 30 GT harus meminta izin dari pemerintah pusat.
Permasalahan tambah ruwet jika merujuk pada UU Perikanan No 31/2004 dan Pedoman Pembangunan Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. UU Perikanan menyebutkan, pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya harus memerhatikan hukum adat, kearifan lokal, dan partisipasi masyarakat (Pasal 6 Ayat 2). Sementara itu, pedoman pengembangan pesisir dan pulau-pulau kecil menyebutkan bahwa negara mengakui keberadaan pengelolaan pulau-pulai kecil berbasis hukum adat.
Implikasi pengakuan terhadap hukum adat dan partisipasi masyarakat ini adalah terbukanya ruang bagi masyarakat untuk mengklaim penguasaan atas wilayah pesisir/pulau-pulau kecil atas dasar hukum adatnya. Maka, di Maluku, misalnya, selain ada kapling-kapling yang terbentuk sebagai akibat dari implementasi aturan-aturan di atas, akan ada juga pengaplingan wilayah laut/pulau-pulau kecil yang dilandasi tradisi petuanan. Dalam tradisi petuanan, komunitas adat memiliki hak milik dan pengelolaan wilayah laut yang batas-batasnya beragam sesuai dengan aturan adat komunitas bersangkutan.
Demikian pula di Aceh. Meskipun tidak ada klaim kepemilikan, institusi panglima laot mengatur pengaplingan laut dalam lhok-lhok (teluk-teluk) yang diatur dalam tradisi hukum laut mereka. Begitu juga di Lombok dengan tradisi awig-awignya dan di pulau Para di Sulawesi Utara dengan tradisi pengaturan penggunaan alat seke.
Di atas kebijakan pengaplingan yang bertumpuk-tumpuk itu diletakkan lagi dua pendefinisian pengaplingan yang sedang ramai dibicarakan saat ini. Keduanya adalah kebijakan tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 soal Usaha Perikanan Tangkap. HP3 memberikan peluang bagi pihak pelaku ekonomi untuk mengelola sumber daya pesisir. Sudah jelas, salah satu implikasi dari pemberian hak kelola itu adalah pengaplingan wilayah. Demikian pula halnya dengan kebijakan yang paling anyar tentang Usaha Perikanan Tangkap. Kebijakan yang memopulerkan istilah ”kluster perikanan” ini juga wujud pengaplingan baru terhadap wilayah laut. Perairan laut, dari pantai sampai ZEE dibagi ke dalam 11 wilayah pengelolaan perikanan.
Satu kebijakan pengaplingan yang harus ditambahkan dalam kesemrawutan ini adalah penetapan wilayah laut sebagai wilayah konservasi. Sekitar sembilan juta hektar wilayah laut yang sudah dikapling pemerintah tercatat sebagai wilayah khusus konservasi, sekitar satu juta lagi dicadangkan juga untuk dikapling guna tujuan itu pada 2010.
Sekarang, bayangkan, areal laut yang sama dipenggal-penggal dengan kebijakan yang berbeda-beda dalam menentukan (1) unit dan batas-batasnya, (2) hak-hak atasnya, (3) pihak yang menguasainya, dan (4) bagaimana mengimplementasikannya.
Karut-marut dalam pengaturan legal ini akan berdampak nyata dan langsung di atas laut. Kombinasi kebijakan ini bisa dipastikan tidak hanya akan melanggengkan konflik yang telah ada, tetapi menyulut konflik-konflik baru. Dengan kondisi seperti ini, kemungkinan kita hanya bisa bermimpi atas pulihnya kondisi sumber daya laut yang telah rusak atau eksploitasi berlebih.
Mengurai kekusutan
Setidaknya ada tiga langkah yang perlu dilakukan untuk mengurai kekusutan ini guna terciptanya pengelolaan sumber daya laut yang lebih baik.
Pertama, mengkaji ulang rezim-rezim pengaplingan laut yang ada, baik secara teoretis maupun riil, yang ada di lapangan. Dengan ini, dimungkinkan untuk dilakukannya pemilihan terhadap rezim yang paling cocok dengan kondisi perairan dan komunitas pesisir/nelayan Indonesia.
Kedua, mengevaluasi semua kebijakan yang berimplikasi pada pengaplingan. Evaluasi ini harus diarahkan pada upaya mengidentifikasi semua kebijakan yang tumpang tindih dan bertubrukan atau berkonflik.
Ketiga, sinkronisasi dari hasil langkah pertama dengan langkah kedua. Langkah ini pada intinya mencocokkan fondasi pengelolaan yang telah dihasilkan pada langkah pertama—berupa adopsi rezim pengaplingan tertentu— dengan rumusan kebijakan sebagai hasil dari evaluasi kebijakan-kebijakan yang ada (langkah kedua). Pada langkah ini, proses penyesuaian, baik dari hasil langkah pertama maupun langkah kedua, bisa saja terjadi. Output dari langkah ini adalah kebijakan pengaplingan dan pengelolaan laut yang
Dedi Supriadi Adhuri (Antropolog) Peneliti pada Kelompok Studi Maritim, Puslit. Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI)Post-Doctoral Fellow, the WorldFish Center, Penang, Malaysia
sumber: KOMPAS
Get Social Share!