Jumat, 05 Maret 2010

Pesawat Cardig Air Ekspor Ikan Tuna

Jumat, 5 Maret 2010 | 04:04 WIB

Padang, Kompas - Potensi ekspor tuna segar melalui sarana kargo di Padang, Sumatera Barat, tergolong besar. Sejak April 2009, pesawat kargo Cardig Air telah mengekspor tuna segar ke Jepang hingga 408.000 kilogram.

CEO PT Cardig Air Boyke Soebroto di Padang, Rabu (3/3), mengemukakan, potensi ekspor tuna dari Padang terhitung potensial karena waktu tempuh dari pabrik pengolahan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus ke Bandar Udara Minangkabau hanya satu jam.

”Sarana infrastruktur transportasi di Padang tergolong memadai. Ini mendorong ekspor langsung tuna segar ke negara tujuan,” ujarnya.

Sarana infrastruktur transportasi di Padang paling baik dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Pesawat kargo membutuhkan jaminan barang sampai tepat waktu di negara tujuan.

Oleh karena itu, diperlukan efisiensi waktu untuk proses pengolahan, distribusi, ataupun volume pasokan barang secara kontinu. Dengan ketepatan waktu, kualitas ikan terjamin.

Pengiriman produk perikanan membutuhkan ruang bagasi khusus di pesawat yang hanya bisa disediakan oleh pesawat kargo. Hal itu disebabkan pesawat penumpang hanya mampu mengangkut barang maksimum 3-4 ton.

Ia menambahkan, kebutuhan tuna segar di pasar internasional tergolong tinggi. Setiap minggu, pihaknya mengirim ikan tuna segar ke Jepang dengan pesawat Boeing 737 rata-rata sebanyak 11 ton. Ikan yang dikirim berupa ikan utuh, dengan isi perut yang sudah dikeluarkan.

Kapasitas kargo tersebut mampu mengangkut ikan sebanyak 17 ton dalam setiap penerbangan. Sementara kemampuan ekspor ikan tuna melalui kargo baru sebanyak 11 ton.

Minim kapal

Meskipun Padang berpotensi untuk ekspor tuna segar, volume pasokan ikan tuna di PPS Bungus hingga kini belum berkembang.

Padahal, PPS Bungus melayani kapal-kapal besar berukuran di atas 30 gross ton (GT) dengan daya jelajah hingga ke zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Ibrahim, petugas di PPS Bungus, mengemukakan, kapal berkapasitas di atas 30 GT yang sandar di pelabuhan itu hanya 60 unit. Semua kapal itu dimiliki oleh pengusaha dari luar Padang. Minimnya jumlah kapal di pelabuhan itu membuat serapan bahan bakar minyak bersubsidi menjadi tidak optimal, yakni kurang dari 100 ton per bulan.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengemukakan, pihaknya meresmikan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) hari Kamis kemarin.

Pendirian SPBN, ujar Fadel Muhammad, dimaksudkan untuk merangsang kapal-kapal besar agar bisa sandar di pelabuhan dan mendaratkan ikan untuk diolah di pabrik yang berlokasi di pelabuhan itu. (LKT)

sumber: KOMPAS

Posting Terkait