Senin, 01 Maret 2010

Nelayan dan Lautnya

KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT
Dua dari lima kapal ikan Malaysia yang ditangkap petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan di 30 mil laut, utara Belawan, Medan, Senin (18/1).

Senin, 1 Maret 2010 | 05:23 WIB

oleh: Andy Riza Hidayat

Tapal batas laut selalu menyulitkan nelayan Sumatera Utara selama puluhan tahun. Aparat keamanan negara tetangga bertindak tanpa kompromi. Mereka menghalau nelayan yang diduga masuk wilayahnya. Kadang hal itu dilakukan dengan menggunakan peluru tajam.

Padahal, nelayan yakin mereka masih berada di wilayah laut Indonesia. Sayangnya, argumentasi nelayan lemah lantaran tidak memiliki pengetahuan tapal batas yang cukup. Apalagi mereka tidak mempunyai sarana untuk mengidentifikasi wilayah dengan akurat.

Sebagian nelayan di Sumatera Utara (Sumut) kini mulai sadar bahwa pengetahuan tentang batas wilayah sangat berharga bagi mereka. Para nelayan kemudian berusaha meningkatkan wawasan batas wilayah dengan mengikuti sosialisasi dari dinas kelautan dan perikanan. Mereka juga melengkapi diri dengan alat navigasi yang memadai. Salah satu dari mereka adalah Chandra Irawan (42), nelayan Tanjung Balai, Sumut.

Pria kurus ini merasa agak nyaman. Pengetahuannya tentang wilayah laut sudah lumayan baik. Dia juga melengkapi diri dengan peralatan, seperti global positioning system (GPS), kompas, dan radio komunikasi. Untuk mengidentifikasi wilayah, patokan sederhana Chandra adalah titik seputar 12 mil laut dari garis pantai. Dia yakin wilayah ini pasti wilayah RI lantaran patokan zona ekonomi eksklusif (ZEE) saja mencapai 200 mil laut dari garis pantai.

Chandra selalu menyimpan GPS dan sejumlah alat navigasi lain di dalam tas kecil yang dikalungkan di bahunya. Saat Kompas menjumpainya pertengahan Januari lalu di Pelabuhan Perikanan Samudra Belawan, Medan, tas kecil itu melingkari tubuhnya. Alat ini membantunya mendeteksi posisi kapal saat di laut.

Laporkan kejadian

Sarana navigasi tersebut juga membantu nelayan dalam melaporkan posisi kapal asing yang mencuri ikan di wilayah RI. Hal ini jarang dilakukan sebelumnya karena keterbatasan wawasan dan sarana. November 2009, nelayan Tanjung Balai melaporkan 13 kapal ikan Thailand yang mencari ikan di perairan wilayah itu.

Laporan tersebut akurat. Petugas Kapal Patroli Hiu 08 berhasil menyergap semua kapal Thailand di utara Tanjung Balai, November 2009. Kasus terakhir, pada pertengahan Januari 2010, nelayan juga melaporkan lima kapal Malaysia yang beroperasi di 30 mil laut utara Belawan. Selain berupa titik koordinat, laporan ini juga dilengkapi dengan foto kapal Malaysia.

Petugas Stasiun Pengawas Sumber Daya Perikanan Belawan langsung mengambil langkah cepat. Setelah berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Kapal Macan Hiu 01 berhasil menyergap lima kapal ikan Malaysia beserta 18 anak buah kapal dan 5 nakhoda.

”Dulu kami tak bisa berbuat apa-apa. Sekarang kami bisa melaporkan dengan lengkap informasi tentang nelayan asing di laut,” katanya. Keberadaan nelayan asing ini sering membuat geram nelayan lokal. Mereka kalah bersaing karena alat tangkap kapal asing lebih modern ketimbang alat tangkap nelayan lokal.

Akan tetapi, upaya nelayan menjaga laut ini terkendala oleh keberadaan ”kibus”. Kibus adalah idiom orang Sumut. Kibus kependekan dari kaki busuk atau kata lain dari mata-mata. Mereka merupakan orang lokal yang dipekerjakan pemilik kapal asing, baik di Malaysia maupun di Thailand.

Peran kibus sangat merugikan nelayan lokal. Mereka diduga kuat membantu pembuatan dokumen palsu kapal asing yang mencari ikan di Indonesia. Kepolisian Daerah Sumut sedang menyelidiki praktik kibus dalam hal pembuatan dokumen palsu nelayan asing.

Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sumut Ihya Ulumudin mengatakan, kibus bisa berasal dari orang biasa, pengusaha lokal, ataupun pejabat. Dugaan ini wajar setelah ditemukannya dokumen palsu di 11 kapal Thailand yang ditangkap petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan, November lalu.

Kibus juga berperan dalam menebus kembali kapal ikan tangkapan petugas. Upaya penebusan ini dilakukan dengan berupaya memenangi proses lelang kapal tangkapan. Proses ini sepenuhnya dibiayai oleh pemilik kapal asing. Setelah menang lelang, kapal tersebut dibawa kembali ke negara asalnya.

Tidak jarang nelayan kerap menjumpainya lagi di laut. Kapal tersebut kembali datang mencuri ikan di laut Indonesia. ”Percuma saja proses lelang, toh, juga yang dapat mereka (pemilik kapal asing),” katanya.

Peran kibus ini diakui oleh seorang nakhoda kapal Thailand, Somsak (70), yang sedang menjalani pemeriksaan petugas Stasiun Pengawas Perikanan di Belawan. Dia mengaku tiga kali membawa kapalnya kembali ke Thailand dari Indonesia. Praktik tersebut sudah biasa terjadi. Tanpa bantuan kibus, Somsak takkan bisa leluasa membawa kembali kapal taukenya.

Tampaknya perjuangan nelayan masih panjang.

sumber: KOMPAS

Posting Terkait